KINYAH MANDAU


KINYAH MANDAU

Kinyah Mandau

Kinyah Mandau

Sejak akhir tahun 1900an, tradisi mengayau semakin ditinggalkan oleh semua sub suku Dayak di Kalimantan, semenjak ada deklarasi damai Tumbang Anoi 1896 ditambah semakin banyak orang dayak yang memeluk agama semawi. Tetapi ada satu bagian dari tradisi itu yang masih bertahan walau saat ini sudah mulai menghilang yaitu “Kinyah”. Kinyah adalah tarian perang suku Dayak, merupakan suatu tarian persiapan untuk membunuh dan memburu kepala musuh.

Pada masa lalu para pemuda dayak dikalimantan harus melakukan perburuan kepala untuk bermacam-macam alasan, karena setiap sub suku dayak memiliki alasan yang berbeda-beda. Sebagi contoh anak laki-laki iban pada usia 10 tahun harus bisa mendapatkan setidaknya 1 kepala manusia, karena ini akan menunjukan bahwa anak laki-laki ini sudah memasuki usia dewasa dan dapat menikah.

Persiapan fisik untuk perburuan kepala ini pada budaya dayak ngaju disebut “kinyah” – Tarian perang. Hampir semua sub suku dayak memiliki tarian perang ini. Dahulunya ini dipertunjukan dikampung-kampung untuk melihat dan mengamati pemuda mana yang akan siap dilepaskan ke hutan untuk memburu kepala siapa saja yang ia temui. Aturan perburuan kepala ini, adalah siapa saja yang bukan berasal dari kampungnya sendiri. Oleh karena itu sebelum perjanjian damai Tumbang Anoi ada 3 istilah yang sangat ditakuti; yaitu: Hapunu – saling bunuh, hakayau – saling potong kepala, hajipen – saling memperbudak. Setiap anak laki-laki dayak ngaju yang berhasil mendapatkan kepala manusia akan diberi tato dibagian betisnya – menunjukan bahwa anak ini sudah menjadi dewasa.

Hasil Mengayau Zaman Dahulu

Hasil Mengayau Zaman Dahulu

Kayau Zaman Dahulu

Kayau Zaman Dahulu

Alasan lain yang dilakukan dayak ngaju zaman dahulu untuk mengayau adalah untuk keperluan upacara “Tiwah” . Tiwah adalah upacara membersihkan tulang-belulang leluhur untuk diantar ke sorga/ langit ke-7. Kepala manusia ini akan digantung di sangkaraya (pusat upacara tiwahnya) kemudian dikubrukan di dekat “sandung” atau rumah kecil tempat menaruh tulang-belulang leluhur yang ditiwahkan, dan jika orang tersebut memiliki “jipen” – budak, maka si-jipen ini juga akan turut dibunuh. Ada sumpahan dalam bahasa dayak ngaju yaitu “sekraung – saki raung” – saki adalah mengurapi, raung adalah peti mati, yaitu darah dari korban ini akan digunakan untuk mengurapi peti mati. Bahkan tidak hanya kepalan manusia kadang akan diperlukan korban manusia yang ditangkap hidup-hidup diikatkan pada sebuah tiang (kepala menghadap kebawah dan kaki keatas) dan akan ditancapkan didalam tanah , di puncak tiang ini akan ada patung burung Tingang (Enggang) sebagai lambang dunia atas. Kemudian akan ditancapkan pada lubang dimana ditanamkan kepala-kepala yang akan dijadikan “jipen” di akhirat. Jika sub suku dayak lain melakukan pengayauan ini untuk menunjukan keberanian, kadang tengkorak manusia ini akan digunakan untuk meminum “tuak” maka pada sebagian kebudayaan dayak ngaju zaman dahulu kepala ini tidak dikoleksi sebagai trophy tetapi sebagai pemenuhan ritual. Yang walaupun sejatinya ajaran ini bukanlah ajaran dan budaya asal, ia muncul akibat ego, dendam, unsur ekonomi dan politis.

Namun kemudian praktek menyimpang ini kemudian secara bersama dihentikan oleh orang dayak sendiri melalui pertemuan Tumbang Anoi. Penggunaan kepala manusia telah diganti sepenuhnya dengan penggunaan kepala “kerbau”. Pada tanggal 15 – 17 Oktober 2013 yang lalu dilakukan “Pumpung Hai” / acara besar napak tilas perjanjian damai Tumbang Anoi di desa Tumbang Anoi ini.

Note tambahan: Penggunaan hadangan / kerbau juga dilakukan sesuai pada kisah asal usul Hadangan / Kerbau yang konon dahulunya adalah jelmaan seorang djipen/budak (kapan-kapan akan kita share)

Tiang tempat menancapkan korban untuk upacara Tiwah

Tiang tempat menancapkan korban untuk upacara Tiwah

Tiang Sandung Zaman Sekarang

Tiang Sandung Zaman Sekarang

Sandung leluhur penulis di Tangkahen

Sandung leluhur penulis di Tangkahen

Rapat Damai Tumbang Anoi

TEKNIK UNTUK MEMBURU KEPALA

Terlepas dari berbagai macam alasan setiap sub suku memburu kepala manusia, setiap laki-laki Dayak pada zaman dahulu haru menguasai teknik yang akan digunakan didalam perburuannya. Teknik ini yang disebut Kinyah.

Tidak diketahui asal muasal kinyah ini, mungkin sama tuanya dengan keberadaan suku Dayak sendiri. Kinyah zaman dahulu jarang ditunjukan kepada orang luar, karena pada zaman dahulu gerakan kinyah ini dijaga dan merupakan jurus rahasia setiap sub suku dayak, makanya setiap kampong / sub suku dayak akan memiliki variasi dalam gerakan kinyahnya. Mengjarkan kinyah kepada suku lain akan dianggap penghiantan dan akan diberi hukuman mati.

Ketika terjadi perjanjian damai Tumbang Anoi, dimana setiap pemimpin sub suku dayak bertemu dan melakukan perdamaian, maka mereka membawa setiap senjata pusaka mereka dan menunjukan gerakan kinyahnya masig-masing dan pusaka/senjata mereka ini dletakan pada sebuah meja agar setiap sub suku dayak yang hadir dapat melihatnya- sejak saat itu sekat rahasia, curiga antara sub suku dayak diruntuhkan. Ketika perjanjian damai ini, Sub suku Oot Danum yang membawakan gerakan kinyahnyah. Karena Sub suku Oot Danum yang terkenal akan gerakan dan teknik berbahaya untuk membunuh musuh-musuhnya.

Dayak Oot Danum

Dayak Oot Danum

Senjata yang digunakan untuk kinyah yang pertama adalah “sipet” – sumpit yang dilengkapi dengan “damek” / anak sumpit yang telah diberi “ipu” / racun. Tetapi pilihan yang sering digunakan ialah senjata parang yang dikenal dengan Mandau (tentang persenjataan silahkan lihat artikel “weaponry”).

KEKUATAN MANDAU

Mandau-mandau yang digunakan seringkali adalah Mandau yang sudah berusia ratusan tahun dan telah diturunkan dari generasi ke generasi dan dianggap sebagai suatu benda yang sacral. Para pengayau zaman dahulu percaya bahwa “kekuatan” mereka terletak pada Mandau itu sendiri, karena sering Mandau ini deberi “isian” atau “gana” dalam bahasa dayak ngajunya. Untuk membuat Mandau yang ada isiannya ini tentu ada ritual khusus biasanya harus dilengkapi dengan darah dan beras. Dipercaya juga jika Mandau itu pernah membunuh orang maka kekuatan pada Mandau itu akan semakin kuat. Kadang juga pada rumpun dayak Ngaju – Oot danum, pada Mandau biasanya akan digantungkan “penyang” semacam jimat-jimat yang terdiri dari tulang, taring, cangkang, kayu-kayuan dan beberapa minyak. Yang saya ketahui adalah minyak “Taguh” – minyak kebal dan minyak “garak” – minyak untuk membuat gerakan mandaunya semakin gesit.

Onggong / Penyang Mandau

Penyang Mandau

Onggoh / Penyang Mandau

Penyang Mandau

Onggoh / Penyang Mandau

Penyang Mandau

Pada beberapa sarung Mandau akan diberi hiasan koin tua belanda yang menunjukan jumlah kepala yang sudah dipotongnya. Beberapa juga menandai dengan hilangnya jumlah tatahan kuningan bulat pada bilah Mandau, ada juga yang menandai dengan garis pada bilah dekat hulu Mandau.

Hiasan Koin Uang Belanda pada sarung mandau

Hiasan Koin Uang Belanda pada sarung mandau

Ketika kinyah pertama kali dipertunjukan dalam perjanjian damai Tumbang Anoi. Sub suku dayak yang pertama kali meminjam gerakan ini adalah Dayak Bahau di sekitaran sungai Mahakam, yang kemudian menyebar ke sub Dayak Oot Tahawung di sekitar sungai Kahayan dan Katingan. Saat ini kinyah hanya digunakan untuk ritual tidak lagi sebagai persiapan perang memburu kepala.

Berbeda dengan jenis bela diri lain yang dikenal di seluruh dunia, Kinyah bukan dibuat untuk membela diri seperti “Kuntau Bangkui”. Tidak ada istilah menghindar, lari, mundur dsb. Kinyah memang didesign sebagai suatu gerakan aggressive untuk membunuh lawannya.

Kinyah biasanya diturunkan dari orang tua kepada anak-anaknya. Menurut tradisi Dayak zaman dahulu, anak laki-laki berusia 10 tahun harus bisa mempraktekan gerakan Kinyah ini sebagai persiapan menuju transisi kedewasaan. Biasanya anak-anak ini akan dihiasi muka dan badannya dengan arang dengan berbagai simbo untuk persiapan perang, salah satunya ialah “Lampak lampinak” – lambing penolak bala berbentuk salib dan tattoo “bulan” di betis kakinya.

Hiasan muka penari

Hiasan muka penari “Kinyah”

Tatoo Bulan di betis kaki

Tatoo Bulan di betis kaki

Tatoo Dayak Ngaju

Tatoo Dayak Ngaju

Untuk mengawali ritual kinyah, biasanya seekor babi akan dikorbankan dan darahnya akan dipercikan pada “hampatung” – patung yang ditaru pada sebuah rumah kecil, perlambangan roh nenek moyang. Sambil diiringi dengan music “kecapi dayak”, gong dan “karundeng” – suling. Tidak ada gerakan membungkuk atau berjabat tangan antara dua penari kinyah, justru dengan gerakan mengancam sambil mebuka Mandau dari sarungnya. Para penari ini mencoba saling mendekat dengan posisi berjongkok sambil mengangkat Mandau dan kepala menghadap kebawah dan mulai saling mengitari satu sama lain. Dengan tiba-tiba salah satu lawan menyerang lawannya dengan mengangkat Mandau lebih tinggi dari kepala, bersiap untuk memenggal dengan satu tebasan, kemudian lawa akan mengambil posisi merunduk menghindari fatal contact.

Tidak seperti bela diri lain seperti Karate, pencak silat, tae kwon do yang memiliki metode pertahanan diri, Kinyah seperti tidak punya metode terencana untuk bertahan kecuali secepatnya pergi ketika Mandau tiba hendak menebas karena satu-satunya tujuan Kinyah adalah memenggal kepala musuhnya.

Gerakan Kinyah

Gerakan Kinyah

Gerakan Kinyah

Gerakan Kinyah

Saat ini Kinyah semakin punah dan pudar karena generasi muda mulai sudah tidak tertarik dengan kebudayaan leluhurnya, tidak ada lagi generasi yang memiliki tattoo di betis kakinya. Kinyah Mandau harus kita lestarikan, bukan lagi sebagai cara untuk memenggal kepala musuh tetapi sebagai bentuk “martial art” asli Dayak.

Tabe
Bekasi 23/September/2013

Sumber:

  1. Kenyah Preparation for murder – by Wyn Sergent Jurnalis Amerika yang melakukan ekspedisi ke Kalimantan Tengah tahun 1968
  2. Maneser Panatau Tatu hiang
  3. Ngaju Religion: The Conception of God among a South Borneo People