SIAPA ORANG BANJAR??


SIAPA ORANG BANJAR??

Masih sering terjadi perdebatan tentang identitas suku Banjar baik dari kalangan Dayak maupun di lingkungan Banjar sendiri. Sebagian meyakini Banjar adalah Dayak yang terislamkan kemudian menyerap budaya Melayu, tetapi saya ingat ketika saya menyaksikan tayangan budaya banjar di TVRI, salah seorang tetua Banjar Mengatakan bahwa mereka bukan Dayak mereka adalah Melayu.

banjar

Saya mencoba menyampaikan prespektive pribadi ditambah dari berbagai sumber literature mengenai siapa sebenarnya suku banjar itu?? Jadi jika ada kesalahan dan kekurang mohon untuk dikoreksi…

Untuk membahas ini tentu kita harus melihat dari sisi linguistik dan kepercayaan masyarakat mula-mula karena dua hal ini yang akan lambat mengalami perubahan ketimbang kebiasaan dan budaya. Maka untuk menelisik ini kita kembali menggali catatan penjelajah Eropa yang datang ke Banjarmasin sekitaran abad -15 yang bernama Kapten Beeckman. Kapten Beeckman melakukan pelayaran pada tanggal 12 Oktober 1713 dengan kapal East India Company ‘Eagle Galle” dengan tujuan melakukan misi perdagangan ke kalimantan bagian tenggara (Banjarmasin) – menurut catatan kapten daniel penduduk pribumi di banjarmasin ini ada dua kelompok, yang pertama ialah kelompok yang menetap di area dermaga (umumnya terdiri dari orang banjar) dan kelompok lain ialah yang tinggal di perkampungan berciri tinggi sedang bentuk badan proporsional dan bersih warna kulitnya agak lebih gelap dari ras Mullato (campuran antara negro dan kulit putih) pada masa itu mereka sudah menjadi Mohamettan / muslim namun masih mempraktekan beberapa budaya pra melayunisasi.

Sultan Banjar

Sultan Banjar

Dari catatan ini dapat dilihat di area Kalimantan Selatan masa lampau ada dua kelompok etnis yang seolah-olah berbeda, yang satu orang-orang yang menetap di bandar, dan yang satu kelompok masyarakat yang sepertinya baru menyerap agama baru yaitu islam terbukti dengan masih dijalankannya ritual-ritual adat yang serupa dengan kebiasaan suku-suku Dayak. Hal ini diperkuat dengan Orang-orang Dayak Bukit pada masa lalu menyebut orang banjar dengan sebutan “ORANG DAGANG”.

Selama ini kita menyebut dayak di Kalimantan Selatan sebagai Dayak Bukit, seolah-olah mereka memang sejak semula sudah bermukim di bukit. Kalau kita menelisik dari bahasa banjar pahuluan atau bahasa yang digunakan dayak bukit pada masa lalu tidak ditemukan kata “BUKIT” yang menunjukan keadaan topografi gunung yang tinggi ataupun rendah. Hanya ada tiga kata yang menunjukan ini yaitu; MUNGKUR, MUNJAL dan GUNUNG. Mungkur adalah gunung yang terendah yang landai sisi-sisinya. Munjal lebih tinggi dari Mungkur dengan sudut kemiringan kaki-kakinya lebi besar pula, sedangkan gunung jauh lebih tinggi dengan tebing yang curam dan pucanknya yang menjulang tinggi dan sukar dijelajahi. Bahkan jika kita melihat dari legenda atau mite Dayak Bukit tidak kita menemukan bahwa orang Dayak Bukit berasal dari dataran rendah di suatu muara sungai di tepi laut.

Acara Aruh Ganal - Dayak Meratus untuk mensyukuri hasil panen

Acara Aruh Ganal – Dayak Meratus untuk mensyukuri hasil panen

Sebagai buktinya didalam ritus adat Dayak Bukit ada beberapa peralatan upacara yang memiliki makna simbolis antara lain PARAHU MELAYANG (Perahu terapung), TIHANG LAYAR (Tiang layar), & BALAI BAJALAN (Balai berpindah-pindah). Selain itu ada beberapa ungkapan / perilaku dan tarian yang menggambarkan kehidupan tepi pantai. Misal menanam padi dikatakan “mengantar padi berlayar”, ladang atau huma disebut “pulau”, “laut tempat berlayar”, “Laut tempat memohon”. Pada acara Menyangga Banua ada satu tarian yang disebut “BALIAN BAKA LAUT”, yakni si balian digambarkan sedang menuju ke laut membuang sial dan mengenyahkan sumber marabahaya yang mungkin menimpa babuhan dan kampung halaman.

Disini kita bisa mengambil suatu hipotesis di Kalimantan Selatan masa lampau ada dua penduduk:
1. Pendatang yang disebut ORANG DAGANG yang menetap di sekitaran Bandar, kemungkinan pendatang dari Sulawesi, Jawa, Sumatera, Arab & China.
2. Indegeous People yang gaya hidupnya sama dengan kebiasaan Suku Dayak.

Orang-orang Dayak Bukit sangat ketat dalam menjalankan adat dan tradisinya. Bagi orang Dayak Bukit adat adalah akahr kehidupan. Bila seseorang tidak mematuhinya lagi, maka yang bersangkutan akan dikucilkan dari BABUHANNYA dan yang bersangkutan harus tingga dan hidup diantara Orang Dagang.

Ketika banyak orang-orang Dayak di Kalimantan Selatan yang menerima kepercayaan baru (Islam), mereka mulai meninggalkan beberapa adat dan kebiasaan, akibat terdesaknya dengan kepercayaan dan budaya baru (Melayu) orang-orang Dayak menyingkir kea arah hulu. Orang-orang Dagang kemudian berasimilasi dengan orang-orang Dayak yang kemudian mengalami proses Amalgamasi atau penghilangan / penggantian budaya asli dengan budaya baru yang dianggap lebih tinggi atau maju.

Belum lagi jika kita melihat rumah tradisional Banjar sangat mirip dengan rumah tradisional Dayak Maanyan.

Rumah Adat Maanyan

Rumah Adat Maanyan

Maka orang Banjar saat ini mirip dengan orang Betawi yang merupakan perpaduan dari berbagai etnis. Banjar adalah asimilasi Indegeous People (Berbagai macam sub Dayak; maanyan, ngaju dan Dayak Bukit) dengan para pendatang yang membawa kebudayaan dan kepercayaan baru. Beberapa banjar secara genetis adalah memang Dayak asli, misal orang Alalak dan Berangas – aslinya mereka adalah orang Dayak Ngaju, dahulunya mereka menggunakan Bahasa Dayak Ngaju yang kemudian terbanjarkan dan sudah tidak menggunakan Bahasa Dayak Ngaju dalam percakapan dan lebih mengaku sebagai Orang Banjar.

Pada masa lampau hubungan antara Dayak dan Banjar mengalami pasang surut, pernah saling membantu misal beberap orang Dayak diminta bantuan “Menurut Hikayat Banjar Resensi I, bahwa Sultan Hidayatullah I telah berwasiat kepada saudaranya yang juga sebagai besannya Pangeran Demang dan mangkubumi Kiai Anggadipa agar menyuruh puteranya Raden Rangga-Kasuma membawa segenap pasukan orang-orang Biaju untuk membunuh putera-putera Kiai di-Podok yaitu Kiai Wangsa dan Kiai Warga serta kemenakan Kiai di-Podok yaitu Kiai Kanduruwan, Kiai Jagabaya dan Kiai Lurah Sanan. Tetapi perempuan dan kanak-kanak yang belum tahu memegang senjata jangan turut dibunuh. Kemudian diperintahkanlah oleh Raden Rangga-Kasuma kepada segenap pasukan orang Biaju tersebut untuk melakukan aksinya yang penuh sorak, berajak, bersumpit, beramuk sehingga terjadi huru hara dengan penuh suara tangisan, tetapi kanak-kanak dan wanita yang memakai laung (= ikat kepala) daun pucuk tidak dibunuh oleh orang-orang Biaju. Sehingga tewaslah Kiai Wangsa, Kiai Warga, Kiai Kanduruwan, Kiai Jagabaya dan Kiai Lurah Sanan. Pasukan orang Biaju yang tewas ada seratusan, tetapi panatau-nya tidak ada yang mati. Segala hartanya dibagi-bagikan kepada pasukan Biaju tersebut. Sedangkan kepala Kiai Wangsa, Kiai Warga, Kiai Kanduruwan, Kiai Jagabaya, Kiai Lurah Sanan serta kepala anaknya masing-masing seorang-seorang maka diperoleh jumlahnya ada sepuluh buku dibagi-bagikan kepada panatau (= panglima perang/orang kaya) yang telah memimpin aksi tersebut. Maka sama sukalah para panatau tersebut. Isteri dan anak masih kecil diberikan kepada keluarganya masing-masing. Semua yang tewas tersebut disuruh kuburkan kepada Kiai Wiradura, tuan Lurah Sanggang dan carik Kiai Durun. Maka orang-orang Biaju itu semua pulang, kecuali Si Sorang dengan pengikutnya sepuluh orang yang disuruh tetap tinggal di pusat dan disuruh masuk Islam. Si Sorang kemudian mendapat gelar bangsawan sebagai nanang yaitu Nanang Sarang setelah menikah dengan Gusti Nurasat- adik Sultan Banjar Raja Maruhum Panambahan” (quote dari wiki).

Banyak lagi tokoh-tokoh pahlawan Banjar Masa lampau adalah orang-orang dayak, sebut saja Lambung Mangkurat yang adalah seorang Dambung Biaju.

Tetapi juga pernah mengalami masa pahit dimana Kesultanan Banjar memonopoli perdagangan. Orang-orang Dayak tidak bisa berdagang secara langsung dengan para pedagang Eropa/China. Orang-orang Banjar akan membeli dengan harga murah dari Orang Biaju dan menjual dengan mahal ke pedagang Eropa. Disamping itu ketika beberap bagian Biaju tunduk pada Kesultanan Kayu Tangi pada abad ke-17 dan mengenakan pajak. Maka terjadi pemberontakan dari kalangan Biaju yang membuat kerajaan Banjar mengalami penuruan produksi Lada. Oleh karena itu kerajaan banjar pernah mengutus wakilnya untuk menyampaikan kepada Gubernur Jenderal Christoffel van Swol, bahwa Sultan akan memberikan monopoli perdagangan lada kepada VOC, jika VOC bersedia untuk membantunya menghadapai orang-orang Biaju. Peperangan ini kemudian berhenti ketika masa Antasari Belanda telah menjadi musuh bersama Banjar & Dayak.

Pangeran Antasari

Pangeran Antasari

Maka menjawab pertanyaa “SIAPAKAH ORANG BANJAR” – maka banjar adalah secara genetis perpaduan gen Dayak dan para pendatang tetapi secara Budaya berbudayakan Melayu. Maka Banjar adalah Banjar bukan Dayak, Banjar adalah satu entitas tersendiri tetapi asal usulnya tidak dapat dilepaskan dari orang-orang Dayak. Ibarat sodara sepupuan. Maka tepatlah istilah Banjar & Dayak adalah “DINGSANAK”.

Tabe,
Jakarta 5/ Des/2013