Kisah Silai dan Kajangga Hatuen Bulan


Kisah Silai dan Kajangga Hatuen Bulan

Ukiran Hanteran Kajangga Hatuen Bulan Karya J.Salilah

Pada jaman dahu kala Ranying Mahatala menyuruh sepasang suami isteri untuk turun dari Dunia Atas (Pantai Danum Sangiang) ke bumi (Pantai Danum Kalunen). Sang suami kemudian menjadi raja yang kaya raya dan bijaksana, setelah beberapa waktu istrinya melahirkan seorang putri yang cantik jelita. Kecantikan dan pesonanya dibicarakan di mana-mana, termasuk Kajangga Hatuen Bulan (Jangga), dewa penguasa bulan, juga mendengar tentang kabar kecantikannya dari roh angin Panyaroi Rawei, sehinga dia diliputi penasaran yang sangat besar untuk mengenalnya dan untuk menjadikannya sebagai isterinya.

Akhirnya, dia memutuskan untuk turun dari bulan ke bumi dan bertemu sang raja, ayah dari sang putri. Ketika Kajangga Hatuen Bulan melihat sang puteri, menjadi semakin besarlah keinginannya untuk memilikinya karena paras kecantikannya. Dia berbicara dengan orang tuanya dan memohon agar sudi memberikan puterinya menjadi isterinya. Permintaannya itupun disetujui, karena memang Jangga juga adalah juga seorang raja yang kaya dan seorang pria yang sangat rupawan. Merekapun akhirnya menikah, Jangga dan Isterinya tinggal bersama pantai danum kalunen dan mereka hidup bahagia.

Tidak lama setelah pernikahan sang puteri menjadi hamil. Jangga tinggal di bulan dari waktu ke waktu, tapi ketika bulan baru muncul dia selalu kembali ke isterinya itu. Tetapi sejak istrinya memasuki masa pali (pantang) selama kehamilannya, selalu tepat saat waktu kunjungan Jangga, iterinya memasuki masa pantang untuk bertemu dia, yaitu pada saat bulan baru. Jangga kemudian menjadi lelah dan semakin putus asa, akhirya Jangga berkata kepada Isterinya : “Saya tidak tahan lagi hidup di Pantai Danum Kalunen, sebab baunya sangat busuk di sini dan saya harus kembali kepada kerabatku ke Pantai Danum Sangiang. Mulai hari ini saya tidak bisa lagi datang menemuimu.” “Jangan melakukan itu,” jawab istrinya, “Kamu bisa lihat bahwa saya sedang hamil, dan kamu tahu bahwa dilarang (pali) untuk seorang suami pergi meninggalkan Isterinya selama masa kehamilan. Kamu tahu jika kamu melanggar pali itu maka itu dapat menyebabkan hal yang buruk terjadi kepada anak kita nanti, ia akan terlahir menjadi seperti monster (cacat). Apalagi anak kita tidak akan pernah tahu siapa ayahnya nanti. Aku mohon jangan memberikn rasa sakit dan kesusahan seperti itu.”, Tetapi  Jangga menjawab: “Tidak, tidak mungkin aku memenuhi keinginanmu, aku tidak bisa lagi bertahan hidup Pantai danum kalunen, saya harus segera kembali ke Pantai Danum Sangiang kepada kaum kerabatku disana, karena akupun menangis dalam hati siang dan malam dengan rasa sakit dan kesedihan; janganlah menahanku, biarkanlah aku pergi. Aku tidak akan meninggalkan anakku. Aku akan menyerahkan kepada mu tujuh anak sumpit. Kamu harus memberikannya kepadanya ketika dia sudah cukup umur. Jika dia bertanya siapa ayahnya, kamu harus memberitahukan namaku. Dan Jika dia ingin mengunjungiku, kamu tidak boleh menahannya, dan katakan apa yang sudah aku katakan kepadamu: Untuk mengunjungiku dia harus pergi belakang kampung. Di sana ia harus menyusun tujuh ruas bambu kuning di atas satu sama lain. Dia harus memanjatnya. Ketika dia telah mencapai bagian yang terakhir dia harus menembakkan ketujuh anak sumpitnya ini ke langit. Mereka akan membentuk rantai, dan berubah menjadi tanaman merambat untuk bisa memanjat dan melanjutkan pendakiannya hingga mencapai gerbang langit. Dari sana dia akan dengan mudah menemukanku. Tetapi jika kamu tidak mengatakan apa yang sudah aku sampaikan kepada anak kita maka hidupmu akan terkutuk dan kamu akan sengsara

Setelah dia selesai mengatakan ini, Jangga mengikatkan mandau dipinggangnya dan telepnya, ia mengambil sumpitannya, dan meninggalkan istrinya yang bersedih hati. Dia pergi ke belakang kampung. Di sana dia menumpuk tujuh batang bambu kuning satu di atas yang lain, dan memanjat mereka. Lalu dia menembak tujuh anak sumpitnya. Anak sumpit itu segera berubah membentuk rantai dan tanaman merambat untuk memanjat. Janggapun kembali ke Pantai Danum Sangiang (Dunia Atas) kepada kaum kerabat keluarganya.

Sekitar sebulan setelah Jangga meninggalkan istrinya, dia melahirkan seorang anak. Tapi akibat pelanggaran pali yang dilakukan oleh Jangga suaminya, Ia telah melahirkan “monster”, seorang anak yang cacat, sebelah bagian tubuhnya tumbuh sempuran tetapi bagian sebelahnya tidak, karena penampilannya itu, ibunya memanggil dia “Silai, si separoh”. Silai tumbuh seperti anak pada umumnya, belajar berbicara seperti orang lain, hingga ia menjadi cukup dewasa. Silai bertanya kepada ibunya tentang ayahnya. Ibunya sudah lama takut akan pertanyaan ini, karena ia takut kehilangan putra satu-satunya itu, tetapi dia teringat kata-kata suaminya dan ancaman apa yang akan terjadi jika dia tidak mengatakan apa yang dipesankan suaminya. Akhirnya ibunya berkata kepada Silai : “Ayahmu tidak tinggal di sini di Pantai Danum Kalunen, karena dia bukan seorang manusia. Ayahmu adalah Kajangga Hatuen Bulan, dewa penguasa bulan.” “Bagus,” jawab putranya, “Aku mau mengunjungi dia, mohon ibu menunjukkan jalannya” Ibunya menjawab: “Itu akan menjadi sukar bagimu untuk mengunjungi ayahmu, karena jalannya jauh dan melelahkan. tapi akan lebih baik jika kamu pergi dulu menemui pamanmu, Jangkarang Matanandau, dewa penguasa matahari.”

Keesokan paginya dia bersiap untuk perjalanan panjangnya. Silai membuat beberapa perbekalan untuk perjalanannya, ia membawa mandau dan anak sumpitannya beserta sumpitnya, ia mengucapkan selamat tinggal kepada ibunya, dan pergi meninggalkan rumah. Dia pergi kearah belakang kampung, berjalan dengan penuh semangat melewati sawah, lalu melalui semak-semak, dan melalui hutan yang lebat sampai akhirnya dia memasuki daerah yang berbukit-bukit. Setelah bepergian selama tujuh hari, tiba-tiba dia melihat sebuah gubuk tunggal yang sangat bagus, yang ternyata itu adalah rumah Rajan Kahiu (Raja orang utan). Ketika dia sampai di sana, dia memanggil: “O bue (Kakek), bolehkah aku masuk ke rumahmu?” “Tame bei esu (masuklah cu)” jawab raja orang utan tadi, dan Silai masuk kedalam rumahnya dan menyapa raja dan ratu orang utan, yang menerimanya dengan ramah serta menjamunya. Ketika dia sudah makan, raja orang utan bertanya kepadanya: “Dari mana asalmu, cucu, dan ke mana kamu berniat pergi?” Silai menceritakan kisahnya, dan bersedih karena dia tidak tahu bagaimana cara menemukan pamannya untuk dapat menemukan ayahnya. “Mungkin nanti aku hanya akan mati di perjalanku, ohh bue.” Raja orang utan tersentuh hatinya dan berkata kepadanya: “Saya khawatir saya tidak bisa menunjukkan jalan itu oh esu, aku tidak bisa membimbingmu ke pamanmu Jangkarang Matanandau, karena aku tidak cukup sakti. Tetap hanya satu orang yang memiliki kekuatan untuk melakukannya, dan hanya dia yang bisa membantumu, yaitu kakekku, raja burung gagak, semoga dia akan bersedia untuk membawa kamu ke pintu gerbang langit. Tidurlah di rumahku hari ini dan kita akan menemui dia besok.”

Esok harinya ia pergi ketempat Raja Gagak, kakek dari Raja Orang Utan. Dia diterima dengan ramah dan dijamu dengan baik, dan raja gagak bertanya dari mana asalnya dan kemana dia pergi. Silai menceritakan kisahnya dan memohon padanya, “Tolong aku bue, tuntunlah aku ke pintu gerbang langit, agar aku dapat mengunjungi paman dan ayahku, karena tidak mungkin bagi saya untuk menemukan jalan sendirian, dan hanya engkau yang bisa membimbing saya.” “Baiklah,” kata raja gagak, “Aku akan dengan senang hati membantumu, tapi pertama-tama tangkaplah seekor ular piton untukku besok sebagai bekal bagiku untuk perjalanan, dan kemudian saya akan membawa kamu ke pintu gerbang langit.” Ketika fajar menyingsing, Silai pergi ke hutan untuk menangkap seekor ular piton. Segera dia kembali dengan ular piton untuk raja gagak, dan mereka mempersiapkan makanan mereka dari itu. Setelah siap mereka berangkat. Silai duduk di punggung Raja Burung Gagak, yang menginstruksikannya: “Kalau saya lapar aku akan meminta makanan, tempelkan saja sepotong dari perbekalan kita di paruhku.” Mereka terbang selama dua hari, dan mereka terbang untuk hari ketiga, dan akhirnya, sampailah mereka ke pintu gerbang langit. Raja gagak membuka pintu gerbang langit  dengan paruhnya, kemudian mengantarkan Silai untuk masuk seraya berpesan kepadanya: “Jika diperjalananmu nanti kamu menemui hewan yang ada dalam kesulitan, bantulah mereka dan selamatkan mereka, karena mereka akan membantu kamu nanti dan menyelamatkan kamu jika kamu membutuhkan pertolongan.” “Saya akan dengan senang hati petuahmu oh bue, dan saya sangat berterima kasih untuk itu,”kata Silai, dan dia memulai perjalanannya seorang diri sementara raja burung gagak kembali ke Pantai Danum Kalunen.

Belum lama Silai berjalan, ia melihat beberapa semut terapung di atas sepotong kayu di sebuah kolam air, dan mereka gelisah dan ketakutan. Mereka memanggil Silai, “O Silai, kamu melihat kami dalam kesusahan ini; kami akan mati jika harus mengapung di air ini lebih lama lagi, sebab angin dan riak air akan melemparkan kami ke dalam air dan ikan akan memakan kami. Bantulah kami, oh Silai.” Silaipun menjawab “Saya akan dengan senang hati membantu kalian” dan dengan mandaunya dia dengan cepat memotong batang kayu yang dia ulurkan untuk semut-semut tadi menjadi jembatan buat mereka mencapai tanah yang kering. Kemudian semut berkata kepadanya: “Kami berterima kasih, Silai, dan kami tidak akan melupakanmu. Jika kamu dalam kesulitan, kami akan datang dan membantumu seperti kamu telah membantu kami.”

Silai melanjutkan perjalanannya, tetapi sebelum dia pergi jauh dia melihat sekelompok ikan saluang yang berenang bolak-balik di kolam berlumpur. Ketika mereka melihatnya, mereka berteriak: “Oh Silai, tolong kami, lihatlah kami akan mati di sini karena kami tidak dapat masuk kedalam sungai, jika kamu tidak menolong kami akan segera mati di sini dengan menyedihkan. Selamatkan kami oh Silai” Silaipun menjawab “Saya akan dengan senang hati membantu kalian” dan dengan mandaunya dia dia menggali saluran ke sungai sehingga mereka bisa meninggalkan kolam lumpur tadi. Ikan Saluang dengan gembira berenang ke dalam sungai dan berkata: “Kami berterima kasih, Silai, karena telah menyelamatkan kami dari kematian, dan seperti kamu telah membantu kami ketika kami dalam kesulitan, kami akan datng untuk membantu kamu jika kamu membutuhkan, karena kami tidak akan melupakan apa yang sudah kamu lakukan untuk kami.”

Silai melanjutkan pengembaraannya, ditengah perjalanannya dia tiba-tiba melihat seekor rusa yang tanduknya terjebak di semak-semak dan tanaman merambat dan ia tidak bisa membebaskan diri. Rusa itupun memohon kepada Silai: “O silai tolong aku, karena kalau tidak aku akan mati di sini.” Silai pun membantu melepaskan semak dan tanaman merambat yang mengikat tanduk rusa tadi, setelah bebas, rusa tadi berkata kepada Silai “Aku akan datang kapanpun kamu berada dalam kesulitan dan akan membalas kebaikan hatimu”.

Silaipun melanjutkan perjalanannya, dia melihat seekor monyet yang terperangkap pada bagian  lengannya di antara dua cabang dahan dan tidak bisa membebaskan dirinya. Monyet itu memanggil Silai: “Oh Silai, tolong aku, lepaskan tanganku dari dahan ini; jika tidak, aku akan mati di sini.” Silaipun membebaskan monyet itu, monyet itupun berterimakasih atas bantuan Silai berkata kepadanya: “Jika kamu dalam kesulitan aku akan- datang membantumu, sama seperti kamu telah membantu saya.”

Silai kembali melanjutkan perjalanannya, dan setelah beberapa saat dia melihat seekor buaya, yang berkata “Oo Silai, aku tersesat di hutan ini dan tidak dapat menemukan jalan kembali ke sungai. bantulah aku, dan tunjukkan jalan menuju sungai.” Silaipu menjawab “Saya akan dengan senang hati membantumu oh buaya”, dengan mandaunya ia membuat jalan untuk buaya melalui vegetasi hutan yang lebat. Buaya tadi sangat senang ketika dapat melihat sungai lagi, buaya tadi berkata : “Jika kamu berada dalam kesulitan, saya akan datang untuk membantu kamu, seperti kamu telah membantu saya hari ini, karena jika kamu tidak membantu saya pasti akan berakhir di hutan ini.”

Dengan hati yang ringan Silai terus berjalan. Tiba-tiba dia melihat sebuah jaring laba-laba: dan seekor kunang-kunang telah terperangkap disitu, kunang-kunang itu sudah berupaya untuk membebaskan dirinya, tetapi semua usahanya sia-sia. Ketika melihat Silai, kunang-kunang itu  berseru: “Oo Silai, putra Jangga, penguasa bulan, selamatkan aku, karena aku tidak bisa lepas dan laba-laba akan memakanku.” Silaipun dengan hati-hati melepaskan kunang-kunang itu dari jaringnya, dan ketika ia merasa dirinya bebas ia berkata: “Saya berterima kasih, Silai, atas jasa besar yang telah kamu berikan kepadaku, seperti kamu telah membantu saya hari ini, jadi aku akan membantumu juga ketika kamu dalam kesulitan.”

Silaipun melanjutkan perjalanannya tidak lama kemudian dia sampai di kota pamannya “Jangkarang Matanandau”, raja matahari. Betapa terkejutnya dia ketika dia melihat kota yang indah dan penuh ornament yang terbuat dari emas murni dan permata. Orang-orang bertanya kepadanya: “Dari mana asalmu, Silai?” Dan dia menjawab pertanyaan mereka dan memberi tahu mereka cerita perjalanannya. Kemudian orang-orang itu membawanya ke rumah pamannya, yang menerimanya dengan ramah dan menjamunya. Jangkarang Matanandau kemudian menanyakan dari mana dia berasal dan ke mana dia pergi. Silai menjelaskan apa yang menjadi kegundahan hatinya, dan memohon pada pamannya: “Ibuku menyuruhku untuk menemuimu oh paman, supaya aku bisa menemukan jalan untuk bertemu ayahku, aku mohon tuntunlah aku kepadanya.” “Dengan senang hati aku akan melakukannya,” kata Jangkarang Matanandau, “Karena kotaku ini terletak tidak jauh dari kota ayahmu, dan kita akan berangkat besok.”

Saat fajar menyingsing, Silai berangkat bersama pamannya, yang membimbingnya ke kota raja bulan, sesampai di kota Raja Bulan, Jangkarang Matanandau kembali kekotanya dan Silai melanjutkan perjalanannya sendirian, dan setelah beberapa saat dia masuk ke kota ayahnya. Silaipun heran, karena kota itu sama indahnya dengan kota pamannya. Dia bertanya kepada penduduk kota itu dimana rumah raja bulan, dan ketika dia tiba di sana, Jangga, sang penguasa bulan bertanya dari mana dia berasal dan ke mana dia pergi, dia berkata kepada ayahnya: “Ayah, aku adalah anakmu; apakah kamu tidak mengenaliku?” Raja bulan menatapnya dengan heran, dan dengan marah berteriak: “Apa!!!! Kamu adalah seorang monster, bagaimana mungkin kamu bisa berfikir bahwa kamu adalah anakku? Kamu tidak lain adalah seorang pembohong dan penipu. Kamu bukan anakku!!, karena pasti anaku adalah seorang pria yang tampan dan bukan seperti kamu monster, hulang binjung (bengkok)  sepertimu.” Silai menjawab dengan sedih: “Ya, ayah, aku memang seperti monster dan terlahir seperti itu, karena kamu meninggalkan ibuku selama kehamilannya; itu salahmu bahwa aku sehingga aku dilahirkan cacat seperti ini.” Tetapi ayahnya tidak percaya dengan apa yang dikatakannya.

Dengan sedih, Silai pergi ke balai, rumah peristirahatan bagi orang asing, karena ayahnya tidak sudi menerimanya di rumahnya sendiri tetapi menyebutnya sebagai pembohong dan penipu. Dia terduduk di lantai dan menangis menghadapi kekerasan hati ayahnya. Ketika ayahnya mendengar kesedihannya, dia pergi kepadanya dan berkata: “Jika kamu berpegang teguh pada apa yang kamu katakan bahwa kamu memang adalah putraku, maka aku akan mengujimu dan ujian itu akan menunjukan apakah yang kamu katakan itu benar atau tidak. Dan jika kamu lulus ujian itu aku akan mengakuimu sebagai anaku”. Dia membawa sebuah sangku, mengisinya setengah dengan air, kemudian menuangkan sebotol minyak ke dalamnya, dan sebuah gantang dan mencampurkan pasir dan abu didalamya, ia kemudian mengaduk semuanya dengan seksama. Kemudian dia berkata kepada putranya: “Jika kamu bisa memisahkan minyak dengan air ini, dan juga mampu memisahkan abu dan pasir ini, kamu aku anggap telah lulus ujian dan memang kamu adalah benar-benar anakku.”

Ketika Silai melihat apa yang harus dia lakukan, dia sangat ketakutan dan diliputi kesedihan, karena dia melihat bahwa mustahil bagi dirinya untuk bisa menyelesaikan ujian dari ayahnya itu. Dia meninggalkan rumah peristirahatan dan berjalan dengan sedih, mencoba memikirkan cara untuk menyelesaikan ujian tadi. Saat dia berjalan, tiba-tiba bertemu semut dan ikan saluang yang pernah ia selamatkan. Mereka bertanya kepadanya: “Ada apa, Silai, mengapa kamu begitu sedih?” Silaipun memberi tahu mereka kisahnya dan mereka berkata kepadanya: “Jangan sedih lagi, Oo Silai; seperti kamu telah melepaskan kami dan menyelamatkan kami, maka sekarang kami akan membantumu dan membalas apa yang kamu lakukan untuk kami, jadi tunjukkan saja tugas itu kepada kami.” Dia membawa mereka ke sangku tadi. Ikan-ikan itu terjun ke dalam sangku yang berisi campuran air dan minyak, ikan-ikan itu menelan minyak, memuntahkannya kedalam sebuah wadah lain, sedangkan para semut memisahkan abu dan pasir dan memisahkannya dalam dua buah gantang, dalam waktu singkat tugas itupun selesai. Betapa senangnya Silai ketika dia melihat apa yang telah dilakukan makhluk-makhluk itu untuk dia. Ketika mereka meninggalkannya, mereka berkata: “Sekarang bawa semua ini ke ayahmu dan letakkan di depannya, dan dia harus mengakui kamu sebagai anaknya.” Silai melakukan seperti yang diperintahkan makhluk itu kepadanya. Dia datang kepada ayahnya, dan ketika Jangga melihat bahwa tugas yang dia bebankan pada anaknya itu selesai, dia berkata: “kamu memang telah lulus ujian pertama, saya tahu itu, tetapi untuk melihat bahwa memang kamu adalah putraku, aku harus memberi kamu ujian lain. Di dekat kota ini ada sebuah taman besar berisi keladi tetapi jalan menuju kesana diliputi oleh semak berduri yang lebat. Jika kamu dapat membuat jalanmu dan mencapai taman itu tanpa tergores duri sedikitpun kamu benar-benar anakku.”

Silai kembali dipenuhi dengan kekhawatiran dan kesedihan, karena dia tahu bahwa tugas ini sangat sulit dan bahwa dia tidak dapat melaksanakan instruksi ayahnya, iapun berjalan kesana kemari sambil memeras otaknya bagaimana dia bisa lulus tes ini, dan ditengah kegundahannha itu dia bertemu dengan rusa yang pernah ia selamatkan sebelumnya. “Mengapa kamu begitu khawatir, Oo putra raja bulan?” tanya sang rusa. Silai memberitahunya apa yang diperintahkan ayahnya, dan bahwa hatinya penuh dengan kesedihan dan rasa sakit karena itu, sebab tidak mungkin baginya untuk menyelesaikan tugas itu. “Jangan khawatir,” kata si rusa, “Saya akan membantu kamu karena kamu telah membantu saya; duduklah di punggung saya dan aku akan membawamu ke taman kujang itu dan kamu akan membawa seikat kujang yang akan kamu tunjukan kepada ayahmu, bahwa kamu sudah berhasil sampai ketaman itu tanpa terluka”. Silai melakukan seperti yang dikatakan rusa itu, dan setelah beberapa saat dia muncul tanpa cedera di hadapan ayahnya, yang sangat terkejut, karena tidak ada goresan yang terlihat pada dirinya. Dia berkata: “Kamu benar-benar putraku, tetapi bagaimanapun juga aku harus mengujimu sekali lagi. Kamu melihat pohon tapang tinggi di sana di seberang sungai? Jika kamu bisa naik ke puncaknya dan kembali tanpa cedera, maka aku akan mengakui kamu sebagai anakku; tetapi jika kamu tidak dapat melakukannya, saya tidak akan percaya bahwa kamu adalah anakku, terlepas dari semua ujian sebelumnya yang berhasil kamu lewati”. Silai dengan cemas meninggalkan ayahnya yang kejam. Karena kecacatannya Silai, ia tidak akan bisa memanjat pohon tapang yang tinggi itu, ia pun berjalan kian kemari dalam kesedihannya, ditengah kegundahannya itu ia tiba-tiba bertemu monyet yang telah dia selamatkan sebelumnya. “Kenapa kamu terlihat bersedih, Oo Silai?” tanya kera. Silaipun menceritakan ujian yang diberikan ayahnya kepadanya, dan bagaimana mungkin ia bisa memanjat pohon itu, sedangkan tubuhnya cacat. “Jangan khawatir,” kata monyet itu “Aku akan membantumu seperti kamu membantuku. Berikan saja bajumu sehingga aku bisa memanjat pohon tadi untukmu; tidak ada yang akan dapat mengetahui dari jarak sedemikian jauh bahwa bukan kamu yang memanjat pohon itu.”

Silaipun menanggalkan pakaiannya dan menyerahkannya kepada monyet, yang naik ke ujung pohon dan turun dengan cepat lagi. Kemudian ia melepas pakaiannya, mengembalikannya kepada Silai, dan berkata: “Sekarang pergilah kepada ayahmu, dan dia harus mengakui kamu sebagai putranya.” Silai melakukan apa yang dikatakan monyet, dan ayahnya beseru ketika dia melihatnya: “Kamu sepertinya benar-benar anakku, aku melihatmu memanjat pohon, tetapi terpikir olehku bahwa itu akan menjadi ide yang baik bahwa aku tetap harus mengujimu sekali lagi. Besok kamu harus berlomba mendayung di sungai melawan para pesuruhku. Jika kamu menang aku akan mengakuimu sebagai anakku.” Silai sekali lagi meninggalkan ayahnya dan berjaan dengan gelisah, khawatir dan penuh kesedihan. Bagaimana seharusnya dia, seorang lumpuh, bisa lulus dengan ujian seperti itu! Tiba-tiba ada suara yang berbicara kepadanya, ia melihat sekeliling ternyata itu adalah buaya yang pernah ia tolong sebelumnya. Ia bertanya kepadanya: “Mengapa kamu begitu gelisah, Oo Silai?” Dia menceritakan kepada buaya itu tentang ujian yang diberikan ayahnya raja bulan dan bahwa dia harus memenangkan perlombaan mendayung besok hari, tetapi tidak mungkin baginya yang cacat untuk dapat memenangkan perlombaan ini. “Jangan khawatir kamu tidak sendirian” kata buaya itu “Aku tidak lupa apa yang kamu sudah lakukan untuk saya, dan karena itu saya akan membantumu untuk memenangkan perlombaan itu. Saat fajar menyingsing naiklah dengan tenang ke atas perahumu, dan aku akan berada disitu. Ketika kamu melihat saya, ikatkan perahumu ke ekorku dan aku akan membuatmu memenangkan perlombaan itu”. Hari berikutnya Silai melakukan apa yang dikatakan buaya kepadanya, dan ketika perlombaan akan segera dimulai semua peserta tertawa dan mengejek Silai yang cacat itu. Tapi atas bantuan sang buaya mereka semua tertinggal jauh di belakangnya, dan Silai menjadi pemenangnya.

Sekali lagi ayahnya berkata: “Kamu telah lulus ujian, dan aku melihat bahwa memang kamu adalah putraku, tetapi aku akan mengujimu sekali lagi. Malam ini, ketika semua lampu di rumah mana pun padam dan semua orang tertidur, kamu harus mencari aku dan duduklah disampingku. Jika kamu berhasil dalam hal ini maka saya akan melihat bahwa kamu adalah anakku”. Sekali lagi Silai harus meninggalkan rumah itu dengan sedih dan tertolak, ia berfikir apakah dia bisa menemukan ayahnya! Dia tidak tahu seluk beluk rumah itu dengan benar, dan dia yakin dia akan tersesat dalam kegelapan. Dia pergi dalam keadaan khawatir. Tiba-tiba berjumpa dengan kunang-kunang yang pernah ia selamatkan. Kunang-kunang itu bertanya kepadanya: “Mengapa kamu begitu khawatir, Silai?” Dia menceritakan ceritanya, bahwa malam ini  ayahnya ingin mengujinya untuk terakhir kalinya untuk melihat apakah Silai benar-benar anaknya. “Bagaimana mungkin aku bisa tahu dia berada dimana ditengah kegelapan itu ditambah aku tidak tahu seluk beluk rumahnya” kata Silai. “Jangan khawatir” kata si kunang-kunang, “begitu hari sudah gelap aku akan muncul. Aku akan terbang di depanmu dan menunjukkan jalan, dan dengan demikian membawamu ke kamar ayahmu; kamu hanya perlu mengikutiku.” Saat malam tiba kunang-kunang muncul dan terbang di depan Silai dan menuntunya sampai di kamar ayahnya. Di sana ia terbang di atas tempat di mana Silai harus duduk sendiri dan kemudian terbang keluar jendela. Silai berbaring di atas tikar tidur yang terbuat emas di sebelah ayahnya dan berkata “Oo ayahku, ini aku.” Sang ayah terbangun dan sekarang ia benar-benar yakin bahwa Silai adalah putranya, dan berkata kepadanya: “Saya telah mengujimu, karena saya takut kamu hanyalah seorang pembohong dan penipu. Tetapi sekarang kamu sudah lulus semua ujianku, dan dengan itu saya yakin bahwa kamu mengatakan yang sebenarnya. Kini saya mengakui kamu sebagai anakku, dan menerima kamu ke dalam rumah saya. Kamu memang terlahir cacat karena aku meninggalkan ibumu saat dia hamil, dan saya akan menebus kesalahan itu. Begitu fajar menyingsing kamu aku akan merubah bentukmu, kamu akan lebih tampan daripada semua pria lain yang ada.”

Saat fajar menyingsing, Jangga kemudian memarut Silai menjadi potongan-potongan kecil di atas sebuah wadah, kemudian melemparkan potongan-potongan itu ke dalam sebuah cawan dan memasaknya, ketika selesai dimasak dia menuangkan Danum Kaharingan atau Air Kehidupan keatas potongan itu dan segera Silai hidup kembali. Ayahnya berkata kepadanya: “pergilah kesawah di sana dan temuilah orang-orang yang bekerja disana, dengarkan apa yang mereka katakan.” Silai melakukan apa yang diperintahkan ayahnya. Ketika dia sampai di dekat lapangan orang-orang melihatnya dan berteriak keheranan: “Ugh! Lihat itu orang kulit hitam di sana!” Dengan khawatir, dia kembali ke ayahnya dan memberi tahu dia bagaimana orang-orang menghinanya. “Jangan cemas,” kata ayahnya, “Besok aku akan memberimu bentuk baru.”

Saat pagi hari, Jangga melakukan seperti yang dia lakukan sehari sebelumnya. Dia mengambil putranya dan memarutnya menjadi potongan-potongan kecil yang dia lemparkan ke dalam wadah tembaga dan merebusnya. Lalu dia menuangkan Air Kehidupan lagi ke atas potongan-potongan itu sehingga anaknya hidup lagi. Sekali lagi ayahnya menyuruhnya untuk pergi ke orang-orang. Ketika mereka melihatnya, mereka berteriak keheranan : “Ugh! Jangan dekati kami, dasar orang merah!” Dia pergi kembali lagi kepada ayahnya dan menceritakan kepadanya tentang hinaan yang telah dilontarkan. Tapi kali ini juga ayahnya menghiburnya dan berkata: “Jangan khawatir, untuk besok aku akan memberimu bentuk baru.”

Ketika fajar menyingsing dia melakukannya seperti yang telah dia lakukan sebelumnya. Dia memarut puteranya dan melemparkan potongan-potongan itu ke dalam wadah perak. Ketika potongan itu dimasak, dia menuangkan Air Kehidupan ke atasnya dan putranya berdiri hidup di hadapannya, dan dia memberinya perintah untuk pergi ke orang-orang yang bekerja di sawah itu untuk mendengar putusan mereka. Tetapi ketika orang-orang melihatnya mereka berteriak: “Ugh! Kamu ayam putih, menjauhlah dari kami!” dengan cemas dia kembali ke ayahnya dan menceritakan apa yang telah terjadi, tetapi sekali lagi ayahnya menghiburnya dan berkata: “Jangan bersedih, besok aku akan memberimu bentuk yang indah yang tidak dimiliki orang lain, dan aku juga akan membuatmu kaya, baik, dan beruntung.”

Ketika pagi tiba, dia mengambil puteranya dan memarutnya kembali menjadi bagian-bagian kecil. Dia melemparkan potongan itu ke dalam wadah perak lagi, tapi kali ini ia mencampurkannya dengan semua “panatau” (kekayaan) dan jimat pusaka penyang sihong yang dapat memberikannya keberanian, kemudian ia mencampurnya dengan gading yang berisi obat kuat yang dapat memberikan ketabahan, kesehatan, kekayaan, dan rasa hormat dari semua orang padanya. Kemudian Jangga menuangkan Air Kehidupan ke atas campuran itu. dan putranya itu hidup dan berdiri menjadi manusia yang fisiknya sempurna dan menjadi sangat rupawan.

Silai tinggal di Pantai Danum Sangiang tiga tahun lamanya. Suatu hari ayahnya berkata kepadanya : “Anakku, waktunya telah tiba untukmu untuk kembali ke Pantai Danum Kalunen (alam manusia), dan menikah di sana dan memiliki anak. Aku tidak bisa memberimu seorang istri di sini, karena sebagai roh kami tunduk pada banyak larangan pali yang tidak mungkin untuk kamu manusia patuhi malahan hanya akan membawa  malapetaka buatmu, jadi pergilah kembali ke Pantai Danum Kalunen, carilah isteri disana. Tapi aku tidak akan membiarkan kamu pergi dengan tangan hampa, aku akan memberikan hadiah yang luar biasa, yaitu suatu harta kekayaan yang telah saya taruh di dalam kotak gading ini dan yang sekarang saya serahkan kepadamu.

“Kamu akan menemukan Danum Kaharingan Belum (Air Kehidupan) di dalamnya. Namun, ia memiliki satu kekurangan, jika kamu gunakan ia akan sangat cepat berkurang, jadi gunakan dengan bijaksana. Lalu kamu akan menemukan didalamnya kotak debu emas halus, beberapa batu mulia, beberapa gumpalan emas, dan tempayan suci”. Silai menjadi senang dengan hadiah yang diberikan ayahnya ini. Keesokan paginya dia meninggalkan ayahnya dan berangkat ke jalan kembali ke Pantai Danum Kalunen. Di tangannya dengan hati-hati ia membawa kotak gading yang berisi kekayaan luar biasa, hadiah dari ayahnya. Di perjalanannya itu, Silai merasa lapar dan haus, sehingga ia memutuskan untuk beristirahat sejenak ditepi sungai untuk makan, dan mandi. Setelah mandi dia melihat kotak gading dan berkata pada dirinya sendiri: “Aku ingin tahu apakah ayah hanya mempermainkan aku saja atau tidak, siapa tahu kotak ini tidak berisi kekayaan besar seperti yang dia katakan! Aku akan membukanya sekali saja dan melihat apakah dia berbicara benar atau tidak!” Dia dengan hati-hati membuka tutupnya dan tiba suatu keajaiban terjadi, sebuh kota yang indah muncul di hadapannya lengkap segala rumah indah dan banyak penduduknya. Gugusan pasir emas dan batu mulia serta guci suci terbentang di depan matanya. Tapi betapa takutnya dia ketika dia mencoba memasukan kembali semuanya itu kedalam kotak gading itu dan ia tidak dapat melakuknnya sebab tidak mungkin untuk memuat semua kapanatauan itu dalam sebuah kotak gading yang kecil ini. Dia merenungkan apa yang harus dilakukan, Silai tidak berani kembali ketempat ayahnya untuk meminta bantuannya, karena dia telah melanggar perintah ayahnya. Kemudian dia teringat akan pamannya Jangkarang Matanandau dan memutuskan untuk meminta bantuannya. Dia segera menemuinya, memberitahunya tentang kecelakaan itu, dan memohon bantuannya. “Baiklah,” kata pamannya, “Kali ini saya akan dengan senang hati membantumu, tapi jangan buka kotak itu lagi sampai kamu mencapai Pantai Danum Kalunen. Tetapi aku akan meminta hadiah darimu untuk bantuan saya.” Silaipun menyetujuinya. Kemudian dengan kesaktiannya Jangkarang Matanandau memasukan semua kekayaan tadi kedalam kota gading milik Silai.

Kemudian dia mengembalikan kotak gading itu kepada keponakannya itu dan Jangkarang Matanandau meminta hadiah kepada Silai. Tetapi Silai cukup cerdik, ia berkata: “Bagaimana kamu bisa meminta hadiah dari saya, ohh paman? Saya tidak punya apa-apa yang bisa saya berikan kepadamu. Pergilah kepada ayahku dan mintalah padanya untuk hadiahmu, dan dia pasti akan memberikan apa yang engkau inginkan.” Jawab pamannya, “Baiklah, Aku akan pergi ke tempat ayahmu dan akan meminta dia sebuah hadiah sebagai imbalan untuk bantuan yang saya berikan kepadamu.” Kemudian mereka berpisah, dan Silai melanjutkan perjalanannya melalui Dunia Atas. Selama tiga hari dia bepergian, ia singgah kesebuah rumah peristirahatan Harantong Tonggang Langit milik Bakas Lilang, Penjag pintu rumah itu adalah Sahawong Sangiang, sang penjaga pintu surga. Silai tinggal selama tujuh hari bersamanya. Setelah 7 hari berlalu, Silai berkata kepada Bakas Lilang :“Pamanku, aku ingin kembali ke Pantai Danum Kalunen, tolong bantu saya.” Lilang menjawab: “Ya, keponakanku, aku dengan senang hati akan membantumu, karena saya punya di sini sebuah Tali emas berbunga merah. Pada tali ini aku akan menurunkanmu ke dunia manusia. Jika kamu sudah berjarak 1 depe (ukuran Dayak) dari permukaan bumi, lepaskanlah dirimu dari tali itu agar aku bisa menariknya lagi”. Silai melakukan seperti yang diperintahkan pamannya, ketika sudah berjarak 1 depe dari permukaan bumi ia segera melepaskan dirinya dari tali itu, dan Bakas Lilang segera menariknya ke langit. Silai melanjutkan perjalanannya di bumi, dan ketika dia bertemu dengan beberapa orang disana, ia bertanya kepada mereka di mana dia berada, dan mereka menjawabnya: “Kamu berada di kerajaan Hindu, kamu berada di Majapahit.” Mereka bertanya dari mana asalnya dan dari mana dia akan pergi, dan dia menceritakan kisahnya kepada mereka. Lalu dia pergi ke rumah ibunya, putri raja Majapahit. Ibunya sangat gembira sekembalinya Silai, dan menyiapkan sebuah pesta yang besar. Konon keturunan Silai adalah orang yang berkulit putih, dan memiliki kekayaan dan keberanian.

Sementara di alam dewata Jangkarang Matanandau meminta Kajangga Hatuen Bulan untuk hadiahnya, ia menceritakan apa yang telah terjadi dan bagaimana dia membantu keponakannya ketika dia dalam kesulitan, dan menuntut hadiah. “Apa yang kamu pikirkan?” balas Kajangga Bulan dengan marah, “Jika kamu menginginkan hadiah, pergilah dan tanyakan pada keponakanmu; dialah yang kamu bantu, bukan aku, dialah yang harus membayarmu, karena kamu tidak akan mendapatkan apa-apa dariku.” Tapi Jangkarang Matanandau bersikeras dengan tuntutannya. Suasana menjadi semakin panas, suara mereka semakin lantang hingga akhirnya mereka saling menyerang, raja matahari menggenggam raja bulan, dan sebaliknya. Akhirya mereka sama-sama lelah dalam perkelahian itu, kemudian Jangkarang Matanandau kembali ke kotanya. Tapi pekelahian antara dua bersaudara itu berulang dari waktu ke waktu. Ketika terjadi peristiwa gerhana bulan atau gerhana matahari.