ZIARAH KE MAKAM MARIANG JANGGUT – LELUHUR DAYAK NGAJU DI DAERAH BARITO


ZIARAH KE MAKAM MARIANG JANGGUT – LELUHUR DAYAK NGAJU DI DAERAH BARITO

wpid-dscf1093

Salah satu rangkaian acara Dayak Youth Camp 2015, kami menyempatkan diri untuk berziarah ke makam Mariang Janggut atau Datuk Janggut Merah di Desa Ipu Mea. Desa ini berada di daerah Barito Timur yang notabene mayoritas suku Dayak Maanyan – namun uniknya desa ini menggunakan bahasa Kahayan sebagai percakapan sehari-harinya. Ketika kami sampai didesa ini, awalnya kami tidak tahu apakah warga desa ini mengerti bahasa Kahayan atau tidak – saat itu kami mencoba bertanya dalam bahasa Kahayan (Dayak Ngaju) dan ternyata mereka dengan fasih menjawabnya – memang ternyata mereka menggunakan bahasa Dayak Ngaju sebagai percakapan sehari-hari selain juga menggunakan bahasa Dayak Maanyan.

Leluhur kampung Ipu Mea ini bernama Mariang Janggut – ia adalah seorang Dayak dari DAS Kahayan tepatnya dari Batu Nyiwuh, secara silsilah Datuk Mariang Janggut ini bersodara kandung dengan Nyai Balau dan Ujau – mereka ada lima bersodara;  empat orang perempuan dan yang laki-laki hanya Mariang Janggut ini.

Nama asli Datu Mariang Janggut adalah BARAGAS – ketika kami berada di kampung Ipu Mea ini kami ditemani Bapa Hara salah satu keturuna ke-9 Datu Mariang Janggut ini.

Bapa Hara

Bapa Hara

Menurut kisah – Datu Mariang Janggut ini awalnya hendak pergi “Mengayau” atau mencari kepala di daerah Barito Timur ini sebagai syarat acara Tiwah. Entah kenapa ketika sampai di daerah ini ia malah jatuh hati dengan seorang wanita Dayak Maanyan bernama BARUGUS – singkat cerita mereka kemudian membina kehidupan berumah tangga. Awalnya mereka tinggal di daerah antara Balawa dan Dayu – namun kata Mariang Janggut kepada isterinya ini “Kalau kita tinggal disini, tidak bisa hidup kita karena tanahnya ini kering, mari kita cari tanah sawah” – maka Datuk Mariang Janggut memulai perjalanan dengan meminta petunjuk melalui perantara seeokor ayam, pertama kalinya mereka menyusuri sungai bangkuang, kemudian ayam itu berkokok ke arah hulu, kemudian mereka pergi ke arah sungai paku, sesampainya di sungai paku ayam itu berkokok lagi menunjuk arah Ipu Mea ini, disitulah mereka kemudian tinggal.

Suatu ketika saat Datuk Mariang Janggut pergi mencari ikan di daerah Tumbang Paku, sekolompok pasukankan kayau berjumlah 100 orang menyerang kampung Ipu Mea. Saat itu isteri Datu Mariang Janggut sedang berbadan dua sedangkan anak tertuanya masih balita, maka terjadilah peperangan epic seorang ibu yang membela anaknya melawan 100an pasukan kayau, sambil menggendong anaknya yang masih kecil. Ketika Datu Mariang Janggu tiba di Ipu Mea, dia terheran melihat banyaknya korban yang berjatuhan. Ia bertanya kepada istrinya “kenapa begini?”, lalu kata isterinya “tadi kayau menyerang, waktu aku sedang memasak”. Tempat kejadian ini berada di bagian hilir kampung ini yang disbeut dengan AMUK, menurut penututan Bapa Hara dahulu rumput tidak bisa hidup di daerah ini karena daerah ini tanahnya merah akibat penuh dengan darah.

Kemudian Datu Mariang Janggut melakukan pembalasan, ia berangkat seorang diri menyerang kampung kayau bernama LEWU TUNGKA yang telah menyerang isterinya tadi , kampung kayau ini dipimpin oleh seorang panglima bernama RAJA BERUK. Katanya kepada penduduk kayau dikampung itu “eweh ketun je dia mamut, taguh dia usah muhun” – “siapa diantara kalian yang tidak pemberani dan sakti tidak usah turun”, tiga kali ia memberi peringatan, ternyata satu kampung itu turun semua menyerang Datu Mariang Janggut – dan dengan luar biasanya Datu Mariang Janggut berhasil mengalahkan mereka seorang diri. Siapapun yang turun menyerang dia, semua berhasil dikalahkannya – sebagian penduduk TUNGKA ini kemudian melarikan diri kadaerah KANDUI Kemudian Datu Mariang Janggut menebang sebuah kayu besar, lalu menyusun kepala musuh yang dipenggalnya tadi dari bagian bawahnya sampai ke pucuk pohon tersebut termasuk panglimanya RAJA BERUK tadi.

Menariknya di kampung Ipu Mea ini dahulu tidak bisa memelihara kambing dan burung dara, sebab jikapun dipaksa maka kambing tadi akan mati – dan apabila dikampung ini keturuan Datu Mariang Janggut saling bertengkar, selalu akan terjadi kilat petir. Pernah salah satu kelompok agama tertentu mendesak untuk membongkar makam Datu Mariang Janggut ini karena dianggap sebagai berhala – sedang mereka melakukan peribadatan tiba-tiba petir menyambar tempat mereka tersebut. Saat itu wahli waris Datu Mariang Janggut Bapa Hara membela tempat ini jika kalian membongkar makam ini – langkahi dulu mayat kami. Untungnya saat ini tempat ini sudah dilindungi oleh Pemerintah sebagai object wisata. Banyak orang yang melakukan hajat, misal hendak merantau terutama para tentara / polisi yang maju kemedan perang.

IMG-20150612-WA0014

Bapa Hara sedang menceritakan kisah “Datu Mariang Janggut”

Aslinya nama kampung Ipu Mea adalah TUDEKAT, suatu ketika, ipar Mariang Janggut bernama KAUT datang dari daerah Kahayan berkunjung kedaerah ini. Kaut ini salah satu orang yang sangat berilmu juga – beliau memiliki senjata berupa tiga buah anak sumpit yang beracun. Jadi apabila, dia menyumpitkan anak sumpitnya melewati bumbungan rumah, maka siapapun yang ada didalam rumah itu akan mati seketika. Setelah sekian lama, Kaut ini kembali pulang ke Kahayan di daerah Mungku Baru dan meninggalkan tiga pusaka anak sumpit tadi didesa ini. Namun banyak orang yang tidak tahan dengan pusaka tersebut, sebab banyak yang muntah darah. Lalu dilakukanlah prosesi belian, ternyata pusaka ini meminta makanan berupa darah manusia. Oleh karena itu diputuskan untuk menguburkan tiga anak sumpit ini disuatu daerah – dan dahulu sekitar 10 depa persegi tempat ini tidak bisa tumbuh rumput karena pengaruh racunnya, dan dahulu barang siapa berani melangkahi tempat ini akan langsung muntah darah. Namun setelah sekian ratus tahun nampaknya pengaruhnya sudah tidak ada lagi. Dan uniknya damek ini jika ditembaki ia akan kembali secara ghaib. Oleh karena itulah daerah ini dikenal dengan nama IPU MEA – Ipu dalam bahasa Kahayan berarti beracun dan Mea dalam bahasa Maanyan artinya Merah – jadi artinya Racun Merah.

Ketika prosesi IJAMBE Datu Mariang Janggut dan Isterinya, waktu tulang belulang mereka diibakar entah kenapa tengkorak kepala mereka selalu melompat keluar dari api, lalu dimasukan kembali namun anehnya selalu saja tengkorak kepala mereka ini melompat keluar sebanyak enam kali. Pada saat yang ketujuh kali dimasukan kedalam api, tengkorak kepala mereka secara gaib menghilang dan tiba-tiba sudah ada dibalai IJAMBE. Lalu para belian yang memimpin prosesi IJAMBE mengalami kesurupan. Mereka mengatakan bahwa tengkorak kepala ini tidak bisa dibakar dan harus dibawa kembali ke kampung Ipu Mea dan dibangun suatu balai khusus. Setiap tahun tengkorak ini diberi makan. Setelah beberapa tahun kemudian, tumbuhlah sehelai janggut warna merah di tengkorak Datu Mariang Janggut. Itulah mengapa dia disebut Mariang Janggut (Janggut Merah). Namun sayang sekali ada saja tangan jahil yang mencuri janggut merah dari Datu Mariang Janggut ini, dan menurut penuturan warga, orang yang mencuri helaian janggut ini terkena sambar petir.  (Note: IJAMBE adalah prosesi penyucian tulang belulang dalam adat Dayak Maanyan – dengan cara dibakar, jika dalam adat Dayak Ngaju dilakukan prosesi Tiwah) Prosesi acara memberi makan Datu Mariang Janggut dan Isterinya dilakukan setiap tanggal 25 Agustus di desa Ipu Mea.

IMG-20150611-WA0004

Makam Datu “Mariang Janggut”

Folks of DAYAK

Makam Datu “Mariang Janggut”

Penulis menziarahi Makam Datu Mariang Janggut

Penulis menziarahi Makam Datu Mariang Janggut

Team APD menjiarahi Makam Mariang janggut

Team APD menjiarahi Makam Mariang janggut

IMG-20150612-WA0010

Team APD menjiarahi Makam Mariang janggut

wpid-dscf1134.jpg

Menjiarahi Makam Mariang Janggut

Tabe

11/6/2015 – Madura Offshore