FILOSOFI DAYAK DAN KERJA KERAS


FILOSOFI DAYAK DAN KERJA KERAS

4594303737_b270d27fea<

Stereotype mengenai suku dayak sering kali kita dengar misal; suku terbelakang, punya ekor, kanibal, kulitnya hitam-hitam dan pemalas – namanya juga stereotype pasti sering tidak benarnya bukan??. Kali ini di blog pertama saya mengenai “Dayak”, saya mau mengupas mengenai filosofi dayak tentang kerja keras. Apakah memang orang-orang dayak adalah suku pemalas yang tidak bisa berjuang dan kalah dengan para pendatang??

Yok mari saya akan coba kemukakan pandangan dan beberapa pengalaman yang pernah saya alami.

Suku Dayak Tidak mengenal “short cut” untuk mencari rezeki

Suku dayak dikenal dengan “mistiknya” tetapi tidak ada satupun didalam ilmu-ilmu mistik asli dayak yang digunakan untuk “ngalap berkah” atau dapatin “easy money”. Contoh beberapa orang rela mengkoleksi senjata keris mahal yang berkhodam dengan pamor tertentu agar sang pemilik diperlancar rezeki dan usahanya. Nah berbeda dengan “Mandau” senjata yang umum dikenal sebagai senjata dayak (walau masih banyak jenis senjata dayak yang lain), orang menyimpan Mandau umumnya tidak punya tujuan untuk menarik rezeki atau semacamnya. tetapi sebagai identitas kedayakannya. Kadang memang Mandau memiliki karisma tertentu, apa lagi jika Mandau tersebut adalah Mandau tua yang pernah digunakan mengayau, tetapi menariknya tidak pernah ada tujuan orang yang menyimpan Mandau digunakan untuk menarik rezeki.

Mandau Koleksi Penulis

Mandau Koleksi Penulis

Contoh lain lagi, jika di tempat-tempat lain ada makhluk-makhluk astral yang dipelihara bertujuan untuk mendapat uang dengan mudah misal; tuyul, kolor ijo, jin, dsb.. mahluk-mahluk astral yang dikenal suku-suku dayak untuk dijadikan sahabat, tidak pernah juga digunakan untuk mendapatkan berkah atau rezeki secara instant. Beberapa mahluk astral yang dikenal dalam mithologi dayak contohnya; Bahutai – mahluk seperti anjing besar yang digunakan untuk melindungi pemiliknya dan menyerang orang-orang yang memiliki niat tidak baik atas tuannya, atau juga “kamang/komang” – mahluk astral yang kadang bisa bersifat jahat kadang bisa bersifat baik bagi manusia, ada beberapa kisah ketika suatu kampung hendak diserang oleh para “asang” (perompak yang biasanya juga akan memenggal kepala orang yang dijarahnya sebagai “trophy”) para kamang/komang ini membantu penduduk kampung tersebut ketika dipanggil, biasanya dengan ritual tertentu.

Acara Aruh Ganal - Dayak Meratus untuk mensyukuri hasil panen

Acara Aruh Ganal – Dayak Meratus untuk mensyukuri hasil panen

Didaerah lain ada ilmu atau ritual tertentu untuk mendapat uang dengan cepat seperti; bertapa di gunung kawi, babi ngepet, dll. Ilmu kebatinan dayak tidak juga digunakan untuk mendapat berkah atau kekayaan secara instant. Misal “kuyang” – sejenis vampire dayak (saya pernah menulis ini dalam blog lain mengenai kuyang dan vampire) orang-orang yang memiliki kemampuan ini tidak bertujuan untuk mendapat rezeki, bahkan beberapa bahkan menderita – saya sendiri kenal orang yang memiliki kemampuan ini namun hidupnya bukan hidup yang berkelimpahan justru keadaan ekonominya sangat sederhana. Kebanyakan ilmu-ilmu dayak bertujuan untuk mengobati, memperkuat diri, membantu ketika perang/berkelahi, menyerang musuh tetapi tidak untuk mendapatkan “short cut” didalam berusaha.

MAMUT MENTENG UREH MAMEH

Slogan ini adalah slogan zaman dahulu orang dayak ngaju, arti harfiahnya ialah:
mamut menteng bisa diterjemahkan pemberani / gagah perkasa,
kalau ureh artinya cekatan dan nekat
sedangkan mameh arti harfiahnya ialah bodoh yang berarti kadang kurang perhitungan tidak mikir kedepan.

Dahulu memang orang dayak dikenal beberapa kali menenggelamkan kapal-kapal pedagang cina dan menjarahnya(ada sejarahnya memang pernah ada ketidak sukaan orang-orang dayak dengan orang china pada zaman dahulu – nanti kita akan bahas pada tulisan lain), beberapa juga menjadi perompak misal dayak laut/dayak iban beberapa dikenal sebagai perompak kenamaan. Dari semua sub suku dayak ada satu yang menjadi benang merah adalah yang paling utama “Keberanian dan Gagah Perkasanya” ini dapat dilihat dari beberap budaya kayau – memenggal kepala musuh sebagi bentuk kesaktian dan kehebatan orang tersebut (walau ada beberapa tujuan lain missal ritual – kita akan bahas lain kali juga).

Dalam catatan kapten David Beeckman – pedagang inggris pada abad ke-17 ia menuliskan deskripsi tentang orang biaju – dayak ngaju sebagai orang yang memiliki postur tubuh tinggi, kekar, garang dan pemalas. Tapi patut diingat bahwa kapten beeckman hanya bertemu dalam waktu yang singkat dengan orang-orang dayak – pada masa itu perdagangan dikalimantan Tengah/Selatan dimonopoli orang orang-orang banjar. Orang-orang dayak tidak dapat berdagang secara langsung dengan pedagang eropa/china – para pedagang banjar akan membeli barang-barang dari orang dayak dengan harga murah, kemudian menjualkannya dengan harga tinggi kepada pedagang-pedagang eropa. Disamping itu orang-orang banjar pada abad itu sering menceritakan kebarbaran suku dayak sehingga tidak ada penjelajah luar yang berani masuk kepedalaman Kalimantan Tengah. Ini juga mengapa pada masa itu orang-orang ngaju umumnya hanya mampu menggunakan “upak nyamu” kulit kayu sebagai baju karena terisolirnya daerah-daerah dipedalaman Kalimantan dan dimonopolinya perdagangan dengan dunia luar. Ini pada akhirnya memicu peperangan antara Dayak Ngaju dan Banjar pada abad ke -17 setelah sultan banjar mengenakan pajak kepada orang-orang dayak.

Kakek ku pernah bercerita tentang peperangan antara dayak dan banjar, awalnya saya tidak begitu percaya karena kita sering mengetahui adanya kerja sama dayak dan banjar menyerang belanda. Tetapi ternyata ada sejarah kelam yang pernah dialami yang memang kemudian ada suatu perdamaian diantara kedua suku ini. Pandangan saya, perampokan ini terjadi tidak lepas dari susahnya keadaan orang-orang dayak yang ada hulu sungai karena tidak ada perputaran ekonomi dan adanya monopoli oleh kesultanan banjar.

Intinya adalah orang-orang dayak memiliki budaya “pemberani” tidak takut akan tantangan, berani mencoba – walau kadang tanpa pikir panjang.

KEBIASAAN BERLADANG ORANG DAYAK
Sejak zaman SD kita dicekoki bahwa suku-suku asli ini yang merusak hutan dengan lading berpindah- ternyata itu salah. Orang-orang dayak cekatan dalam membuka lahan hutan untuk berladang namun tidak merusak alam – ini ditulis oleh peneliti botani inggris pada abad 17 – menurut catatannya lahan bekas pembukaan ladang oleh orang dayak justru menjadi hutan sekunder yang lebih lebat dari pada hutan primernya.

Saya ketika SMA pernah menjelajah kehutan bersama teman-teman, beberap kilo saja sangat “menyengsarakan” bahkan beberapa kali terjatuh dan masuk kedalam tanah lembek sepinggang – bisa dibayangkan pada zaman dahulu usaha untuk membuka lahan/ladang seperti apa?? Orang dayak mengenal dimana lahan yang bisa digunakan untuk berladang ada yang merupakan lahan adat. Orang tidak boleh sembarangan mengolah hutan disana – orang dayak kenyah menyebutnya tanah ulen kalau dayak ngaju menyebutnya “pahewan”

Jika saya bisa saya simpulkan mengenai filosfi dayak tentang kerja keras:
1. Dayak tidak mengenal “short cut” didalam berusaha justru sangat giat untuk bekerja keras dan giat.
2. Orang-orang dayak adalah orang-orang yang berani dan cekatan untuk menghadapi tantangang walau kadang cenderung kurang perhitungan (pada masa itu adalah untuk berkelahi dan berperang)
3. Orang-orang dayak berusaha cenderung untuk memperhatikan keadaan alam dan tidak mengambil lebih dari yang dibutuhkan

Lalu pertanyaan yang muncul kenapa orang dayak sepertinya kalah bersaing dengan para pendatang di Kalimantan??

Seperti yang sudah saya paparkan diatas orang dayak cenderung tidak mengambil short cut didalam mencari keuntungan, walaupun orang dayak adalah penduduk asli, orang dayak sangat welcome dengan pendatang dan tidak memanfaatkan “kepribumiannya” misal dengan menjadi preman dsb.. sangat jarang kita temukan kelompok dayak yang menjadi preman dan melakukan pemalakan – walau tentu ada ormas-ormas yang mengatasnamakan dayak yang melakukan ini yang kebanyakan kepengurusannya bukan orang dayak.

Apakah kita kalah saing? Jawabannya tidak – saya pernah bekerja dengan seorang singapura yang memuji keuletan orang-orang dayak yang bekerja, bahkan kalau kita runut sejarah ketika belanda melakukan ekspedisi ke Papua mendaki pegunungan Jaya Wijaya, orang dayak lah yang digunakan karena kemampuannya dan “endurance” menghadapi rintangan alam.

Ekspedisi Dayak Ke Papua

Ekspedisi Dayak Ke Papua

Apa yang terjadi sekarang ialah bergesernya nilai-nilai kejuangan, saya ingat kisah kakek nenek dan orang tua saya dahulu ketika mereka harus sekolah, mereka berusaha dengan segenap tenaga – zaman dahulu tidak ada kiriman bulanan – yang ada modal nekad. Ini cerita alm. Ayah saya yang berkuliah di Jakarta waktu dahulu. Selain itu terlalu asik dengan “zona nyaman” – beberapa anggapan cukup bisa makan tiap hari, punya lahan karet atau sawit ya cukup saja.. sedangkan para pendatang ini yang merantau kekalimantan datang dalam keadaan susah tanpa sanak keluarga, tanpa tempat tinggal maka mereka ditempa keadaan untuk menjadi ulet.

Orang menjadi ulet dan gesit ketika hidupnya dihimpit dan mengalami kesusahan atau ada satu tekad untuk maju, ambil contoh jepang pra – istorasi meiji, Jepang menutup dirinya dari bangsa lain (walau ada sejarah kelam mengenai ini yang mungkin lain kali bisa dibahas) namun muncul suatu keigininan untuk maju. Dayak juga butuh restorasi – disini biacara tentang dibutuhkan orang-orang muda dayak yang punya visi untuk maju. Saya mengutip kata-kata Ahok – Wagup DKI- Orang Miskin Jangan melawan orang kaya, orang kaya jangan melawan pemerintah – Jika ingin mengubah keadaan “utus itah” maka kita harus terjun di bidang masing-masing. Jika ingin mengubah keadaan pemerintahan daerah maka kita tidak bisa berada diluar loop itu dan hanya menggerutu kita harus jadi bagian loop pemerintahan, kalau mau mengubah keadaan masayarakat maka kita harus terjun secara langsung. Kita tidak kekurangan orang-orang yang pintar dan ulet bekerja.. tetapi kita kekurangan orang yang punya visi dan yang melakukan visi itu. Zaman kayau sudah berlalu, sekarang musuh kita bukan lagi kayau dan penjajahan asing tetapi sesama kita dan “zona nyaman”. Tabe

Jakarta 31/Agustus/2013