MENGKRITISI PROGRAM TRANSMIGRASI


MENGKRITISI PROGRAM TRANSMIGRASI

Transmigrasi

Sejarah tranmigrasi sebenarnya dimulai semenjak era kolonialisasi Belanda sekitar tahun 1905, tujuan Belanda melakukan program transmigarasi dari Pulau Jawa ke pulai lain adalah karena saat itu semakin padatnya jumlah penduduk dan juga sebagai  bentuk politik etis untuk memperbaiki kehidupan para pekerja paksa di Pulau Jawa yang dieksploitasi masa itu dengan memberikan lahan. Disamping itu program transmigrasi juga untuk meningkatkan produksi pertanian dan pertambangan di daerah lain.

Pada tahap awal kolonialisasi, setiap kepala keluarga peserta memperoleh premi sebesar 20 gulden, dibebaskan dari biaya transportasi yang nilainya sama dengan 50 gulden per keluarga, serta mendapat sumbangan biaya hidup sebsar 0,4 gulden per hari selama masa penyiapan tanah. Jumlah biaya langsung diperkirakan sekitar 300 gulden per keluarga yang mencakup premi, biaya transportasi, biaya makan 150 gulden, biaya bangunan rumah 65 gulden, pembeliatan alat-alat 13,5 gulden, ditambah 0,7 hektar tanah sawah dan 0,3 hektar tegalan serta pekarangan. (John A. Dixon “ Biaya-biaya Pemukiman Atas Areal Tanah danAlternatif-alternatifnya”, Prisma, Tahun VIII No. 4 (1980), hlm.75.)

Program emigrasi ini kemudian terus diadopsi oleh pemerintahan Indonesia baik di Orde Lama dan di Orde baru baik dengan tujuan dan latar belakang yang berbeda, jika di orde lama focus utamanya ialah memindahkan prosentase daerah yang padat ke daerah yang kurang padat. Sedangkan di orde baru fokusnya pada intensivitas pertanian. Seperti pada zaman Belanda para anggota transmigarasi ini diberi beberapa fasilitas dan modal awal.  Sebenarnya ide ataupun tujuannya dilihat dari kerangka Negara Kesatuan adalah baik tetapi menjadi persoalan ketika Pemerintah hanya menelan mentah-mentah produk colonial, tanpa memperhatikan kehidupan penduduk local daerah yang menjadi program transmigrasi ini.

Pada masa lalu, hal ini tidak menjadi suatu persoalan, tetapi saat ini semakin banyaknya lahan yang dikuasai oleh bukan penduduk asli, dan kurang terserapnya orang local untuk bekerja di daerahnya sendiri, disamping itu juga karena salah sasarannya program KB pemerintah, Sebagai contoh orang Dayak zaman pada era Orde Baru tunduk dan taat pada program pemerintah untuk mengikuti program KB, bayangkan sudah jumlahnya sedikit kemudian turut dibatasi, dan ini tidak berimbang dengan pertambahan penduduk dari Pulau Jawa yang masuk ke Kalimantan dimana para transmigran ini diperlengkapi skill & Modal. Disisi lain penduduk lokalnya jangankan diperlengkapi modal dana, untuk akses pendidikan juga sukar. Hal ini tentu tidak equal dengan kesiapan penduduk lokal untuk berkompetisi dengan para pendatang ini baik karena jumlahnya maupun kualitas pendidikan.

Pembangunan yang hanya berpusat di Pulau Jawa menyebakan program transmigarasi ke Pulau Lain hanya seolah-olah mengekspor penduduk miskin  & bermasalah dari pulau Jawa ke Pulau lain untuk bisa maju dan sukses TANPA memperhatikan keadaan penduduk lokalnya. Kalau orang sering mencibir penduduk loka dalam kasus ini Orang Dayak “Tidak berjuang, pemalas, bodoh, dsb”. Orang Dayak bukanlah suku yang pemalas atau juga bodoh, orang Dayak punya daya juang untuk maju (Silahkan baca: Filosofi Dayak & Kerja Keras) tetapi kebijakan Pemerintah yang seolah-olah menganaktirikan penduduk dari pulau Kalimantan, tidak diberikannya kesempatan, tidak dibangunnya akses pendidikan yang memadai, menyebabkan semakin terpuruknya kualitasnya. Ini berbanding terbalik dengan Sumber Daya Alam yang dikuras oleh pusat demi mensejahterakan Pulau Jawa.

Bayangkan sampai saat ini banyak akses jalan yang susah tembus ke kampung-kampung dan pedalaman, bagaimana generasi mudanya mau mengenyam pendidikan?, bagaimana mau ada pergerakan ekonomi untuk menjual hasil buminya jika aksesibilitas itu ternyata tidak dianggap penting oleh pemerintah, butuh berhari-hari untuk bisa mencapai kota jiika harus melalu jalur sungai. Susahnya akses jalan membuat harga BBM sangat mahal, misal di Murung Raya harag sebelum BBM naik 15 ribu per liter itupun susah dicari, di Malinau 11 ribu/liter, di Krayan 22 ribu/liter, padahal minyak dan batu bara diambil dari pulau ini!!! Ini belum bicara akses kesehatan, pendidikan dsb. Kemudian para transmigran diberikan lahan untuk berusaha, sedangkan orang dayak sendiri susah dipersulit untuk mengurus ijin atas tanahnya sendiri, punyapun masih direbut paksa demi kepentingan kelapa sawit dan tambang, kalau tidak mau menyerahkan tanahnya malah dipidanakan di penjara. Ini salah satu contoh dari ribuan kasus yang terjadi:

Adalah Burhan, warga Seruyan, Kalimantan Tengah (Kalteng), tanah dan kebun karet dirampas perusahaan sawit. Kala protes, diapun harus menghadapi penjara 1,5 tahun. Nasib sama dialami Wardian. Warga Seruyan ini harus menjalani 1,5 bulan penjara karena tak terima kala tanah dan kebun durian terbabat sawit semena-mena. Nasib miris, juga dialami Langkai TN, dari Desa Kanyala, mendekam di penjara 1,6 tahun didakwa melakukan perbuatan tak menyenangkan. Padahal, dia protes lahan dan kebun karet diklaim perusahaan sawit Mereka menjadi terpidana gara-gara berusaha mempertahankan wilayah hidup

Sumber

Program transmigrasi yang terus dilakukan hingga saat ini juga menyebabkan berkurangnya lahan pekerjaan bagi orang lokalnya. Sebagai contoh ketika penerimaan PNS berapa persen putra daerah yang diterima? Sangat rendah dibandingkan penduduk dari Jawa yang diterima di Kalimantan. Hal ini juga menjadi kritisi pemuda di Malinau, Kalimantan Utara yang pada tahun 2014 ini resmi menjadi provinsi termuda. Pemerintah mencanangkan untuk mendatangankan 3 ribu transmigran dari Pulau Jawa untuk tahap awal, di Bulungan ada sekitar 3 ribuan juga, hal ini kabarnya akan mendapat tentangan dari masyarakat Dayak di Malinau yang pada tanggal 16 Januari ini akan melakukan aksi demo menentang transmigrasi ini. Bukan karena Orang Dayak anti dengan pendatang, malahan sejak dahulu Orang Dayak sangat terbuka dengan para pendatang yang mau mencari rejeki di pulau ini (silahkan baca: HUKUM ADAT DAYAK TERHADAP ORANG ASING / PENDATANG). Hanya ketidakadilan pemerintah yang selama ini meposisikan orang Dayak menjadi marginal di tanah sendiri.

Ada satu pepatah Dayak Ngaju yang dipesankan oleh leluhur kami:

ELA SAMPAI TEMPUN TANA MANANAN SARE, TEMPUN UYAH TEAH BELAI, TEMPUN KAJANG BISA PUAT

yang artinya jangan sampai yang punya tanah tetapi hanya menanam di pinggir, yang punya garam tapi cuman bisa makan yang hambar, yang punya atap tetapi selalu kebasahan.

Jika pemerintah terus melaksanakan program Transmigrasi ini tanpa memperhatikan keadaan penduduk lokalnya, yang saya khawatirkan bukan hanya akan menyebabkan friksi antara masyarakat tetapi semakin memupuk rasa ingin memisahkan diri dari Negara ini.

Tabe

Bekasi 14/Jan/2014